Hukum (Masih) Tetap Rindang
Anak: ”Bu, kakak itu kenapa ya?”
Ibu:
“Hmm..”
Anak:
“Kok dia ditangkap sama polisi ya Bu?”
Ibu:
(diam saja sambil meneguk segelas air)
Anak:
“Kakak itu nyuri ya Bu? Tapi kok orang-orang pada belain dia ya Bu?”
Ibu:
(tetap diam saja sambil makan nasi pindangnya)
Dialog
ini terjadi di sebuah warung makan Padang di plataran ruko dekat Hotel Purosani
kota baru Jl. Mataram. Sembari makan nasi tempe, saya memperhatikan seorang Ibu
dan anaknya yang duduk persis disamping meja tempat saya berada. Televisi di warung tersebut sedang menayangkan
berita tentang seorang anak yang dituduh mencuri sandal. Tak berapa lama
kemudian, muncul dialog seperti yang saya tuliskan di awal.
Belakangan
memang marak pemberitaan seputar kasus hukum yang melibatkan “wong cilik”. Polanya
selalu sama, kasus pencurian dilakukan oleh rakyat kecil dengan nominal rupiah
yang tidak seberapa, namun terancam diganjar hukuman pidana yang berat.
Terlepas apakah kemunculan kasus-kasus tersebut sebagai pengalihan isu politik
yang lebih besar, saya menilai kasus tersebut bisa menimbulkan bias pada
norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Bias ini bisa berakibat fatal
terutama jika salah dipahami oleh generasi muda yang nantinya akan memimpin
bangsa ini.
Saya
ambil contoh dua kasus yang menjadikan anak-anak sebagai pesakitan, yaitu
pencurian sandal dan penjambretan uang senilai seribu Rupiah (pernah saya baca
harian surat kabar lokal Jogja). Gara-gara dua kasus ini, timbul gerakan seribu
sandal jepit dan gerakan pengumpulan koin seribu rupiah sebagai sikap
solidaritas membantu si anak yang menjadi tersangka kasus penjambretan. Mengapa
hal tersebut bisa terjadi? Sama seperti koin untuk Prita, masyarakat menilai
hukum di Indonesia tak pernah berpihak kepada rakyat kecil. Sehingga perlu ada
gerakan massa yang massif untuk menyadarkan para penegak hukum.
Sebagai
orang yang awam terhadap masalah hukum, menurut saya ada perbedaan mendasar
dalam kasus Prita dengan kasus sandal jepit ataupun kasus penjambretan yang bernilai
seribu rupiah. Kasus Prita menjadi heboh karena terkait dengan kasus pencemaran
nama baik di dunia maya yang undang-undangnya relatif masih baru. Sehingga
akhirnya menimbulkan pro-kontra terhadap kepantasan hukuman bagi Prita.
Artinya, secara norma sosial, kita sepakat bahwa perilaku Prita yang sekedar
mencurahkan keluh-kesahnya di dunia maya adalah perilaku yang wajar. Oleh
karena itu, dalam pandangan awam, kasus Prita tidak bisa dengan mudah dilihat
sebagai “kesalahan” atau “kebenaran”. Harus dilakukan pembuktian di
persidangan.
Nah,
untuk kasus pencurian sandal ataupun penjambretan yang baru-baru ini terjadi di
Bali, secara nominal memang sangat kecil. Apalagi untuk kasus penjambretan yang
hanya berhasil mengambil uang seribu rupiah. Namun karena masyarakat sudah
terlanjur antipati dengan penegakan hukum di Indonesia, maka timbul gerakan
penggalangan koin seribu Rupiah sebagai bentuk dukungan terhadap si anak
tersebut. Padahal di dalam norma sosial pun, pencurian adalah perilaku yang
salah. Untuk kasus pencurian dengan nominal kecil seperti ini, pikiran kita
akan otomatis membandingkannya dengan kasus korupsi bernilai milyaran rupiah
tapi terdakwanya hanya dihukum 2-3 tahun penjara saja. Jika sudah begitu, pasti
kita akan memaklumi kasus pencurian dalam skala kecil tersebut. Barangkali kita
berpikir, “Sudahlah, Toh cuma seribu
rupiah aja. Nggak perlu dihukum lah.”
Dalam
paradigma psikologi kognitif, persepsi yang muncul setelah membandingkan kedua
kasus berbeda kelas tadi memang sangat wajar. Tapi sebenarnya persepsi tadi
bisa berakibat fatal karena kita telah mengaburkan norma-norma yang berlaku di
dalam diri kita dan di dalam masyarakat. Pencurian tetaplah pencurian, sekecil
apa pun nilainya. Hanya saja, bentuk hukuman antara pencurian pada anak-anak
memang harus dibedakan dengan orang dewasa. Saya juga tidak setuju jika
anak-anak harus dihukum, lebih tepatnya diberikan pembinaan dan dikembalikan
kepada orangtuanya.
Poin
yang ingin saya tekankah adalah; kasus pencurian dalam skala kecil namun diganjar
hukuman berat yang marak diberitakan oleh media massa belakangan ini jangan
sampai menggiring persepsi generasi muda bangsa ini bahwa mencuri dalam skala
kecil bukanlah sebuah kesalahan. Bisa saja persepsi ini muncul karena media
juga terus menerus memberitakan berbagai gerakan yang mendukung si pesakitan
dalam kasus tersebut. Seperti adegan yang ditampilkan dalam sebuah iklan
layanan masyarakat: koruptor kelas kakap lahir dari dari kebiasaan-kebiasaan
bohong yang teratur dilakukan sejak masih anak-anak.
Jadi
penekanan harus muncul bahwa pencurian itu bagaimanapun tetap sesuatu yang
salah. Ketidakadilan hukum memang membuat kasus sederhana seperti itu menjadi
berkembang rumit dan berbelit-belit. Semoga kita tidak seperti seorang Ibu yang
saya temui di warung nasi goreng tempo hari (mungkin si Ibu itu lagi asyik
makan sehingga tidak mendengar pertanyaan anaknya, he).
Bagaimana
dengan anda? Berbuat adilah sejak dalam pikiran!
Komentar
Posting Komentar